Istilah syawalan/ halal bihalal memang berasal dari bahasa Arab. Uniknya, istilah itu tidak dikenal oleh masyarakat Arab, karena memang tidak terdapat dalam tradisi dan kebudayaan mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syawalan memiliki arti “acara maaf-memaafkan” pada hari Lebaran. Sementara, istilah halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal (baik atau diperbolehkan) yang diapit satu kata penghubung ba (Quraish Shihab, 1992).
Tradisi syawalan, kata Umar Kayam (1997), merupakan kreatifitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Islam hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan-ketegangan yang muaranya menimbulkan disharmoni. Melihat fenomena itu, para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi-akulturasi budaya, yang memungkinkan agama baru itu diterima oleh masyarakat Jawa. Singkatnya, para ulama di Jawa dahulu dengan segenap kearifannya, mampu memadukan kedua budaya yang bertolak belakang, demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Sungkeman dan Ketupat
Siapa yang mula-mula mengenalkan tradisi syawalan, belum diketahui secara pasti. Menurut Ibnu Djarir (2007), tradisi syawalan dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Tradisi sungkem yang merupakan inti kegiatan syawalan, mengalami perluasan seiring dengan perkembangan zaman. Sungkeman saat ini dilakukan kepada semua orang tua. Makna sungkeman itu, sejatinya sangat mulia dan terpuji. Sebagai lambang penghormatan kepada yang lebih tua, dan permohonan maaf. Seusai sungkeman, biasanya dilakukan jamuan makan dengan menu utama ketupat.
Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan. Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian.
Pegawai dari Jurusan Analis Kes, Jurusan Kebidanan, dan Jurusan Kes.Gigi berdatangan ke Kampus Terpadu/ Direktorat di Jl. Tata Bumi 3, Banyuraden, Gamping utk bersyawalan. Kegiatan dimulai pd pukul 08.00 - 10.00 WIB bertempat di Ruang Lobby kantor Direktorat Poltekkes Ykt lantai 1. Para karywn-dosen yg telah mendahului datang di kantor, kemudian membentuk barisan berdiri di sepanjang jalan masuk kantor Poltekkes berjejer hingga sekeliling Ruang Lobby kantor. Para karyawan-dosen yg datang belakangan akan berputar menjabat tangan karywn-dosen Poltekkes lainnya yg telah datang lebih awal.
Setelah beramah tamah secukupnya, para pegawai pun langsung pulang, meneruskan syawalan di lingkungan masing2. Sedangkan para pimpinan (Direktur, Pudir, dan Kajur) meneruskan kegiatan syawalan di Kantor Dinas Kesehatan Prop. DIY, Jl. Tompeyan, Yogyakarta
Beberapa usulan yg perlu ditindak lanjuti demi kebaikan pelaksanaan acara Syawalan/halal bi halal Poltekkes Ykt ini adalah:
- penyediaan snack utk hadirin yg datang (lebih baik lagi jika menunya ketupat), karena ini saat yg penuh kebahagiaan, apalagi bagi pegawai yg telah datang dari jauh2/dari kampus di luar Banyuraden.
- kegiatan ini dpt di-rolling sebagaimana pelaksanaan Tarling (Taraweh Keliling) RDKP, berpindah2 di lokasi kampus Jurs lainnya agar dapat saling bersilaturrahmi diantara sesama civitas Poltekkes Yk.
Referensi:
- http://sunatullah.com/tulisan-artikel/tradisi-syawalan.html
- http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/09/09/28/78367-syawalan
No comments:
Post a Comment